Langsung ke konten utama

Rahman dan Wati

Rahmat Watimena
/ Kader HMI At-Tsawarah/ Mahasiswa UNISMA

Malang, LAPMIWati perhatikanlah mungkin di gulungan ombak itu terselip pesan Rahman.

Aku Rahman, hanyalah seorang lelaki buruh pelabuhan yang pernah memikul peti Bung Hatta setibanya dari Boven Digoel.

Lantas aku Wati, hanyalah seorang buru pala yang di perebutkan cintanya oleh seorang kompeni dan priyayi di tanah Banda, lantas ia harus menerima cinta priyayi yang ia ketahui sejak dari awal akan pergi ketika ia melahirkan seorang anak, nantinya wati tak se-emas pala di run sana dan Wati harus menanggung rindunya kepada Rahman,

Rahman, kita telah mengikat janji agar sama-sama menjaga rindu yang kita ikat bersama di atas tita saat aku menerima kepergianmu sesaat Jan Pieterszoon Coen memenggal kepala manusia Banda Naira, karena dendamnya

Rahman, setiba kau datang di tanah Banda sahaya beritahu bahwa sahaya telah dipaksa tidur, oleh seorang priyayi dan menjadi ratu selama anak yang berlarian di taman belakang rumah sana nanti, belum Tuhan titipkan di perut sahaya, tetapi sahaya tetap berterimah kasih kepadanya, ia mengajarkan sahaya mengaji, bebaskan sahaya dari berkilo-kilo pala yang harus berada di kepala sahaya setiap hari saya juga harus berterima kasih aku tak menahan panas bara api tungku yang keringkan pala, namun sejauh itu aku tetaplah menjadi lautan yang merindukan ombak terus seperti lautan mempertanyakan  nelayan kemana mereka saat mereka istirahat menunggu lautan kembali teduh.

Rahman kau ke mana?, Sahaya telah di perebutkan oleh kompeni dan Priya dan aku menerima persunting oleh priyayi, lalu perang telah berakhir pulanglah, jangan kau mau jadi tamu di tenggara sana, jika kau pulang dan kau meregang nyawa juga aku, sahaya akan meregang nyawa juga, kalau bukan dengan parang mereka berarti dengan parang sahaya sendiri.

Rahman setiap malam tiba sahaya menyalakan pelita menitipkan sedikit doa kepada Tuhan bahwa sumbar mu hadir oleh pelita ini

Wati, doa ku di sore matahari mulai merah ini semoga membawa doa sahaya kepada mu yang sahaya titipkan pesan bahwa kau tetap seharum fuli yang pernah ku cium di kening mu di atas tita tempat terakhir kita saling bertemu dan berpeluk kemudian mengikat janji bahwa tak ada lelaki lain selain sahaya dan tak perempuan lain selain wati, semoga sahaya tak di panggil tuhan ketika begulung-gulung ombak datang, semoga Wati tak memilah lelaki di hati Wati selain sahaya.

Wati jauh Wati, saat anak-anak gadis begurindam di pantai ini, wati terlalu jauh sampai-sampai ombak saja mungkin telah bosan mendengar doa dan pesan sahaya yang mana harus ombk bawakan untuk mu, mungkin pula juga angin telah lalai pesan mana yang harus ia pilah untuk di berikan kepada mu

Wati, Malam ini sahaya melihat orang berpakaian gamis dan bersorban berdiri di atas pasir pantai di bawah bulan yang terang, angin yang agak kasar menyambar, di selatan lautan yang aku berdiri lampu-lampu nelayan membentuk kota kaAmpung lelaki gamis itu dengan gambus ia menyayikan Soneta berlirik pengantin baru di malam pertama malu-malu, sahaya berdoa agar wati mendengar juga 

Setelah ini sahaya pulang Rahman, sahaya kembali ke Jawa kembali pula pada pelukan ibu dan ayah, Rahman sahaya belumlah mencium bau pala dari pakaian mu saat selesai memetik pala di atas dahan-dahan pohon pala pula yang pernah sahaya tunggu kau di bawah nya, sahaya menitipkan pamit, sahaya akan pulang ke Jawa rahman, Ya Allah tuhan maha pengampun mengapa kau ciptakan perasaan untuk manusia ia menanggung berat rindu seberat ini kepada hamba, rindu yang berat setelah merindukan ciptaan mu dan kepada hambamu yang sama-sama kau ciptakan dari tanah yang sama-sama menjadikan kehadiran nya Adam dan Hawa, mungkin rindu pula yang pernah di titipkan pada perasaan Adam kepada Hawa, Rahman sahaya memandang gunung api dari atas benteng Nassau sahaya taruh pesan sahaya di atas puncak gunung api mohon lah ambil pesan itu jika besok ia meletus Ya Allah, sahaya memohon ketika menyelam mencari teripang ataukah memanah ikan, mohonlah pertemukan pesan sahaya dengan Eahman

Wati, pagi ini tenggara amatlah tenang di hiasi pasir putih dan beberapa gadis sedang berlatih menari, anak-anak kecil di ujung jembatan dengan kailnya menangkap ikan, bergembiralah mereka, berbahagialah mereka, ah Wati mungkin besok sahaya kembali bahu sayahaya siap menjadi sandaran kepala dan memeriksa cinta mana yang paling adil untukmu. 

Rahman sahaya telah sampai di Jawa, setelah kompeni harus pulang dan di Surabaya telah ada kabar kemerdekaan sudah kita rebut dan merdeka akan di kumandangkan sahaya tak bertemu pelukan ibu apalagi ayah, Rahman sahaya hanya bertemu bau terakhir dari baju ayah dan bau terakhir kebaya ibu, Lalu sahaya ingin pulang ke Banda hanya untuk belajar agama dan bertemu denganmu seperti kenangan yang telah kita buat.

Wati sahaya belumlah kembali, sahaya telah bangun rumah dan sahaya di jodohkan dengan anak raja di tanah tenggara ini tetapi sahaya tolak, sahaya berucap sahaya telah mengikat janji dengan perempuan pengumpul pala di Banda sana menunggu sahaya dan sahaya ingin kembali ke Banda dan bertemu Wati sahaya tuturkan janji kita di tita itu berucap janji di atas altar, ataukah kita sendiri-sendiri seperti orang tua sahaya dulu.

Wati, tentulah sahaya tak sehebat Jhon Piter Coen, yang memecahkan ombak dari Eropa sana, tetulah sahaya tak berharta sebanyak kompeni-kompeni di Banda sana, namun sahaya sehari akan membuat wati menjadi ratu sehari saja, tetaplah rawat terus cinta yang telah kita tanam dan tumbuh menjadi rindu yang hari ini setiap detik kita semai, setiap menit kita tumbuhkan kembali kemudian busuk kita pilah dan saling panen kembali .

Rahman pada arus terakhir ini sahaya hanyutkan rindu saya dengan gulungan ombak yang sahaya lihat pagi ini di depan 16 meriam Belanda di atas tita Banda Naira, Rahman sahaya harap tak tenggelam ataukah tersangkut di pulau-pulau kecil yang dulunya kita bermimpi di pulau itu akan hidup sebatang kara rindu yang tumbu menjadi cinta yang hilang di tengah-tengah ombak tenggara hari ini pun sahaya menanggung rindu Rahman, sahaya merindukan bau badan mu lao sahaya menunggu cinta yang hilang bertahun di atas penindasan cintalah yang paling rumit, 

Aku sebentar malam ini akan bersiap dan terpaksa  tidur dengan lelaki yang tak pernah ku nikmati kehadiran, Rahman...Rahman baliklah dan katakan cintamu masih sendiri kepada lautan Banda Naira ini, baliklah katakan bahwa cintamu masih semahal pala di run sama, Rahman katakanlah cintamu setinggi gunung api sana untuk sahaya bukan?

Datanglah dan jadilah tuan pada hati ku, jadilah tuhan untuk masa tua ku?

Rahman hadirlah, dalam mimpi sahaya sekali saja biar kau tetap tuan pada rumah kecil yang tuan titipkan padaku yaitu perasaan.

Editor: Reny Tiarantika

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERGURUAN TINGGI SEBAGAI PENYUMBANG DOSA DALAM DEMOKRASI INDONESIA

  Sahidatul Atiqah (Jihan) Departemen PSDP HMI  Komisariat Unitri Pada hakikatnya perguruan tinggi memiliki posisi strategis, yaitu menjadi instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa.  Dari perguruan tinggi lahir generasi-generasi penerus yang berkapasitas baik untuk membangun dan meneruskan estafet kepemimpinan bagi sebuah bangsa. Selain itu perguruan tinggi memiliki tugas dan peran yang termuat dalam Tri Dharma salah satunya adalah pengabdian, perguruan tinggi memiliki ruang lingkup pengabdian yang luas, termasuk dalam ranah politik dan demokrasi yang membutuhkan kontribusi dari pihak-pihak terkait di perguruan tinggi. Dengan kata Lain kampus tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu tetapi juga menjadi garda terdepan dalam membentuk pemikiran kritis dan berpartisipasi aktif dalam mengawal demokrasi. Kampus tidak boleh mengabaikan keterlibatan dalam isu politik. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam mengawasi, mengawal, dan m...

Sebuah Wacana Menjelang Pilkada 2024

  Zul Fahmi Fikar (Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pembangunan Desa, HMI Cabang Malang) Kesejahteraan sebuah negara dilihat dari seorang pemimpinnya, demikian pula Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) harus dijadikan sebagai proses demokrasi yang sehat, kita sebagai masyarakat awam harus mampu menghindari politik transaksional yang membudaya di bangsa ini, agar pemilihan kepala daerah mendatang lebih bersih dan jauh dari kata curang, kotor dan lain sebagainya.  Karena 5 tahun ke depan bukan persoalan menang ataupun kalah dari kontestasi politik hari ini, akan tetapi bagaimana kita sama-sama fokus pada perubahan di setiap daerah yang kita tempati,berangkat dari itulah mengapa pentingnya kita sebagai warga negara Indonesia perlu jeli dalam menentukan pilihan, sebab dosa mendatang yang diperbuat oleh kepala daerah yang terpilih itu merupakan dosa besar kita bersama.  27 November 2024, pesta demokrasi akan diselenggarakan, yang mana kita sebagai masyarakat sama-sama berharap ...

Demi Party di Yudisium, Kampus UIBU Malang Poroti Mahasiswa

  Kampus UIBU Malang dan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Yudisium Malang, LAPMI - Universitas Insan Budi Utomo Malang yang biasa disebut kampus UIBU akan menggelar acara yudisium dengan tarif 750.000. Sesuai informasi yang beredar yudisium tersebut akan digelar pada hari Rabu (14 Agustus 2024) dan akan dikonsep dengan acara Party/Dj. Hal tersebut membuat kontroversi di kalangan mahasiswa UIBU lantaran transparansi pendanaan yang tidak jelas dan acara yudisium yang dikonsep dengan acara party/DJ. Salah satu mahasiswa berinisial W angkatan 2020 saat diwawancarai mengatakan bahwa Yudisium yang akan digelar sangat tidak pro terhadap mahasiswa dan juga menyengsarakan mahasiswa dikarenakan kenaikan pembayaran yang tidak wajar dan hanya memprioritaskan acara Party/Dj. “Yudisium yang akan digelar ini konsepnya tidak jelas dan tidak pro mahasiswa, tahun lalu tarifnya masih 500.000 tapi sekarang naik 250.000 menjadi 750.000, teman-teman kami tentu banyak yang merasakan keresehan ini. Pihak...