Sahidatul Atiqah (Jihan) Departemen PSDP HMI Komisariat Unitri |
Pada hakikatnya perguruan tinggi memiliki posisi strategis, yaitu menjadi instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari perguruan tinggi lahir generasi-generasi penerus yang berkapasitas baik untuk membangun dan meneruskan estafet kepemimpinan bagi sebuah bangsa. Selain itu perguruan tinggi memiliki tugas dan peran yang termuat dalam Tri Dharma salah satunya adalah pengabdian, perguruan tinggi memiliki ruang lingkup pengabdian yang luas, termasuk dalam ranah politik dan demokrasi yang membutuhkan kontribusi dari pihak-pihak terkait di perguruan tinggi. Dengan kata Lain kampus tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu tetapi juga menjadi garda terdepan dalam membentuk pemikiran kritis dan berpartisipasi aktif dalam mengawal demokrasi. Kampus tidak boleh mengabaikan keterlibatan dalam isu politik. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam mengawasi, mengawal, dan mengevaluasi perkembangan demokrasi.
Dalam setiap langkahnya, perguruan tinggi seharusnya menjadi mercusuar ataupun simbol dari kebenaran dan keadilan dalam menjaga demokrasi. Namun di balik fasad akademis yang gemilang, ada realitas kelam yang menunjukkan bahwa perguruan tinggi juga dapat menyumbangkan dosa bagi perjalanan demokrasi Indonesia.
Perjalanan demokrasi
Indonesia tidak terlepas dari reformasi 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto,
dimana ada peran mahasiswa dalam menegakkan demokrasi sesuai nilai-nilai
Pancasila. Merealisasikan mimpi negara kesejahteraan untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur. Tapi apakah pasca reformasi 1998 penerapan
demokrasi sesuai koridornya? Ataukah sesuai cita-cita reformasi? Tentunya tidak
juga sebab nampaknya penerapan demokrasi di Indonesia kian hari kian jauh dari
esensi.
Selama 2 dekade terakhir
sejak tumbangnya orde baru, penerapan demokrasi tidak secara substansial,
akhirnya rakyat Indonesia hanya terjebak pada demokrasi secara prosedural.
Demokrasi di artikan begitu sempit yaitu hanya sebatas aktifitas elektoral,
selain itu masyarakat juga tidak diberikan pendidikan demokrasi oleh para
elit-elit negara. Hal ini, tidak terlepas dari drama-drama kepentingan elite
dan degradasi peran perguruan tinggi sebagai wadah dalam menempah mahasiswa
yang kritis untuk menjadi agen of change, sosial control dan moral force.
Pada tahun 2020 masyarakat
dihebohkan oleh jalan tol UU Cipta Kerja yang di ketuk dalam waktu semalam. Hal
itu memancing banyak kemarahan masyarakat akar rumput yang merasa sangat dirugikan.
Begitupun mahasiswa, merasa bahwa tidak ada keterlibatan atau partisipasi masyarakat
dalam proses pembuatannya, akibatnya banyak aksi demonstrasi yang dilakukan
oleh mahasiswa diberbagai daerah di Indonesia. Setelah aksi besar-besaran,
akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 91/PUU- XVll/2020 mengeluarkan
putusan inkonstitusional bersyarat atas UU Cipta Kerja, keputusan ini menjadi
salah satu alasan indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2020 merosot, dimana
tahun itu juga menjadi titik terendah bagi demokrasi indonesia selama the
Economic Intelegent Unit menyusun indeks demokrasi Indonesia. Tidak ada gerakan
yang masif oleh mahasiswa dari berbagai kampus manapun setelah itu, setiap
aktivis kampus dari satu daerah dengan daerah lainnya berjalan sendiri-sendiri.
Rupanya drama tidak
sampai disitu saja, akhir-akhir ini demokrasi di perkosa dengan begitu
brutalnya. Bagaimana tidak, pesta demokrasi 2024 nampaknya menjadi sasaran
empuk para oligarki dalam melacuri praktik demokrasi. Banyak diksi baru yang
muncul di tengah masyarakat sebagai wujud kekecewaan atas gagalnya pemerintah
dalam menjaga demokrasi. Mulai dari istilah anak haram konstitusi, politik
gentong babi, cawe-cawe jokowi sampai pada jokowisme. buntut kekecewaan
tersebut berawal dari keputusan MKMK terhadap pelanggaran etik yang di lakukan
Anwar Usman sewaktu menjadi hakim dalam memutuskan syarat usia calon wakil
presiden yang meloloskan keponakannya Gibran menjadi calon wakil presiden.
Walaupun inkonstitusional dalam proses pencalonannya, Gibran tetap saja melaju
menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Jika kita sebutkan satu persatu
barangkali tidak akan habisnya pelucutan nilai-nilai demokrasi dalam pemilu
2024, Hal ini mencerminkan lemahnya fungsi check and balance antar lembaga Negara.
Indeks demokrasi 2024 di perkirakan akan merosot kembali yang di sebabkan oleh
banyaknya pengaduan kecurangan dalam proses pemilu 2024.
Dosa Perguruan Tinggi
Satu-satunya harapan
dalam menjaga demokrasi adalah perguruan tinggi sebagai pencetak mahasiswa
yaitu agen of sosial control yang juga merupakan kaum akademis yang nantinya
melanjutkan estafet kepemimpinan. Tapi apakah masih ada optimisme untuk harapan
ini dapat benar-benar dipikul oleh perguruan tinggi jika melihat ada banyak
dosa yang di sumbangkannya pada demokrasi. Beberapa dosa perguruan tinggi bagi
demokrasi indonesia:
Hambatan Kebebasan
Berpendapat: Salah satu dosa perguruan tinggi terhadap demokrasi adalah di
batasinya kebebasan berpendapat mahasiswa dan menyensor ide-ide yang berbeda.
Demokrasi membutuhkan ruang untuk diskusi terbuka dan beragam pandangan agar
dapat berkembang, namun seringkali dosen yang konservatif di perguruan tinggi tidak
menerima pendapat mahasiswa yang berbeda dengannya, terkesan memaksakan
pendapatnya kepada mahasiswa, bukan hanya persoalan kebebasan berpendapat dalam
kelas, tetapi kebebasan berpendapat mahasiswa benar-benar di hambat ketika
mahasiswa menuntut haknya, seperti yang terjadi di Universitas Riau belakangan
ini. Khariq Anhar di Laporkan oleh rektornya atas dugaan menyerang kehormatan
dan nama baik usai melakukan protes atas pemberlakuan iuran pengembangan
institusi. Khariq adalah salah satu dari banyaknya mahasiswa yang menjadi
korban. Kadangkala mahasiswa di bungkam dengan ancaman drop out ataupun
pencabutan beasiswa.
Korupsi dan Nepotisme:
Praktik korupsi dan nepotisme di perguruan tinggi dapat merusak prinsip
transparansi dan akuntabilitas, yang merupakan landasan utama dari sistem
demokratis. Hal ini juga dapat menyebabkan ketidakadilan dalam pengambilan
keputusan dan alokasi sumber daya. Praktek pungli adalah salah wujud nyata dari
praktik korupsi di perguruan tinggi, salah satu contohnya adalah kasus di
UDAYANA Bali pada tahun 2018 sampai 2023 dan Universitas Negeri Manado pada
tahun 2023, praktik nepotisme di perguruan tinggi juga tidak kalah maraknya
seperti akses beasiswa melalui orang dalam, ini sudah menjadi rahasia umum di
berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia sehingga ketidakadilan akses
terjadi.
Ketidaknetralan Politik:
Perguruan tinggi seharusnya tetap netral dalam hal politik dan tidak memihak
pada satu pihak. Ketika institusi pendidikan terlibat dalam politik partisan,
hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat pada integritas dan otonomi perguruan
tinggi. Ketidak netralan ini pernah terjadi pada Universitas Tribhuwana
Tunggadewi pada tahun 2023 lalu, dimana beberapa oknum dosen berkampanye untuk
salah satu capres di kampus 2 Unitri Malang, sampai saat ini oknum dosen yang
terkait belum di tindak lanjuti oleh pihak kampus.
Ketidakadilan dalam
Struktur Kekuasaan: Struktur kekuasaan yang tidak adil di perguruan tinggi,
seperti dominasi kelompok tertentu atau kurangnya representasi dari berbagai
latar belakang, dapat menjadi dosa terhadap demokrasi. Demokrasi membutuhkan
partisipasi aktif dari berbagai kelompok untuk mencapai keputusan yang inklusif
dan representatif. Dominasi kelompok tertentu dapat memicu beberapa tindakan
rasisme, bullying, intoleransi sampai pada pelecehan seksual. Beberapa kasus tersebut bukan hanya terjadi
antar mahsiswa tetapi juga dari dosen ke mahasiswa.
Perguruan tinggi saat ini
hanya fokus pada transfer pengetahuan tidak dengan transfer nilai, hal ini bisa
di lihat dari Penerapan-penerapan kurikulum yang bertolak belakang dengan
fungsi dan peran mahasiswa yang berdampak pada kurangnya partisipasi aktif
mahasiswa dalam mengawal demokrasi. Tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan
dan penelitian hanya menjadi formalitas yang berorientasi pada IPK, sedangkan
pengabdian di artikan hanya sebatas KKN (kuliah kerja nyata) yang berlangsung
hanya satu bulan. Selebihnya memikirkan prospek kerja untuk kenyang sendiri.
Mahasiswa di tuntut hanya
memikirkan IPK, dan dipenjara pemikirannya dalam ruang-ruang kelas. Sehingga
tidak jarang kita menemukan mahasiswa yang individualis serta apatis dalam
masalah politik yang berimbas pada kehidupan bangsa.
Tak heran jika petisi
yang di keluarkan pada akhir januari sampai awal februari lalu oleh Sivitas
Akademika beberapa kampus di seluruh Indonesia untuk mengkritik pemerintahan
Jokowi mendapatkan beragam tanggapan. Beberapa pihak bersimpati sedangkan tak
jarang ada pihak yang menganggap gerakan tersebut di politisasi, selain melihat
dari segi positifnya kita juga harus menelaah lebih jauh dan melihatnya dari
sudut pandang orang-orang yang kecewa terhadap institusi perguruan tinggi yang
sudah banyak menyumbang dosa bagi demokrasi Indonesia.
Kembali pada Khittah
Perguruan tinggi sudah
saatnya kembali pada Khittah sesuai peran dan fungsinya menjadi wadah dalam
mencetak generasi intelektual yang cerdas secara kapasitas keilmuan maupun
dalam hal kebermanfaatan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Perguruantinggi
sudah seharusnya mampu membenahi masalah dalam penerapan pendidikan yang
mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Dalam hal ini, perguruan tinggi diharapkan
menjadi lembaga yang mendorong pemahaman dan praktik demokrasi di kalangan
mahasiswa dan civitas akademika.
diharapkan aktif dalam melakukan riset-riset yang mendukung demokrasi,
seperti penelitian tentang partisipasi masyarakat, pemilu, dan isu-isu
demokrasi lainnya. Hasil riset ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
positif dalam memperkuat institusi demokrasi di Indonesia.
Selain itu, perguruan
tinggi juga diharapkan turut berperan aktif dalam pengabdian kepada masyarakat
dengan memberikan pendidikan dan pelatihan tentang demokrasi, mendukung
partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, serta memberikan masukan dan
solusi terhadap permasalahan demokrasi yang ada di masyarakat. Perguruan tinggi
juga diharapkan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan
internalnya, seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan.
Hal ini mencakup proses pengambilan keputusan, pemilihan pimpinan, dan
pengelolaan sumber daya secara transparan dan partisipatif.
Dengan menerapkan khittah
yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, perguruan tinggi dapat menjadi agen
perubahan yang signifikan dalam memperkuat demokrasi di Indonesia melalui
pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, dan pengelolaan internal yang
demokratis.
Penulis : Sahidatul Atiqah (Jihan)
Departemen PSDP HMI Komisariat Unitri
Komentar
Posting Komentar